Pages

3.8.10

LUCKY I’M IN LOVE WITH MY BESTFRIEND part 1

           Aku berdiri memandang gerejaku yang sudah penuh dengan orang berdandan rapi. Aku sendiri merapikan kembali gaunku yang sudah agak kusut. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia untukku dan semua orang yang berada di sini. Pasalnya hari ini adalah hari yang dinantikan kebanyakan orang. Sepasang kekasih yang akan berjanji mengikat kasih setia di dalam gerejaku ini.

            Beberapa pasangan sudah pernah mengikat janji mereka di gerejaku ini, dan mereka bahagia. Tentu saja bukan aku yang menjadi pasangan berbahagia itu. Aku hanya sebagai tamu. Walau aku bukan tamu special bagi kedua mempelai, paling tidak aku dekat dengan mempelai pria. Dekat. Tidak sekedar dekat, kenal, kami bersahabat sejak SMA.

            “Gina! Gin! Dipanggil tuh sama Gading! Katanya dia perlu lo!” aku menoleh mencari sumber suara. Ternyata salah seorang sahabatku yang lain. Dia tersenyum namun ada ekspresi kepanikan dalam wajah dan suaranya.

            “Mba Gina, tolongin Gading mba. Dia nyari-nyari mba Gina terus.” Kali ini suara itu berasal dari Tante Gunawan sang ibu yang punya hajat alias ibunya Gading, sahabatku yang akan menikah. Baru saja aku keluar dari mobilku, aku sudah dirusuhi banyak orang.

 Ah ya, namaku Gina. Gina saja, tidak ada embel-embel lain. Aku seorang editor di salah satu majalah fashion terkenal di Jakarta. Aku mempunyai banyak kenalan seorang fashion stylish, atau orang-orang yang terkenal di bidang fashion. Sepertinya cukup dulu tentang aku, lambat laun kalian akan tahu siapa aku yang sebenarnya. Sedangkan Gading adalah sahabatku di gereja ini. Aku mulai bersahabat dengan Gading sekitar enam tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di kelas 3 SMA dan Gading baru masuk kuliah.

Hari ini hari istimewa bagi Gading. Dia akan menikahi seorang gadis, yang sudah dia pacari dua tahun, dan dia kejar-kejar selama tujuh tahun. Ya, aku tahu seluk beluk Gading mengejar, jatuh bangun, gadis ini. Aku menganguk menerima panggilan dari Sunia dan Tante Gunawan tadi. Melihat kepanikan mereka, akupun menjadi panic. Tapi apa boleh buat, aku harus lebih tenang dari orang panic. Itulah yang diajarkan Gading padaku.

Aku memasuki sebuah ruangan di gerejaku ini. Ruangan itu begitu dingin dan suram. Entah aura apa ini, mengapa begitu suram. Aku mencari sosok Gading yang kukenal baik. Tidak ada Satya, sang mempelai wanita, di sana. Hanya Gading. Dan dia terlihat sangat… hmm, apa yaa, baru kali ini aku mengatakan hal ini tentang Gading. Hari ini, Gading terlihat sangat tampan. Wajah kekanakan dan senyum konyol tidak lagi menghias wajahnya. Raut muka seperti ini sudah lama tidak kutemukan di muka Gading. Terakhir kali, lima tahun yang lalu, ketika sebuah insiden terjadi.

“Ada apa Ding? Tadi Ibu dan mba Sunia manggil gw, katanya lo perlu gw? Ada apa?” aku bertanya dengan sangat hati-hati. Ah ya, aku memanggil tante Gunawan dengan sebutan ibu, aku sudah terlalu dekat dengannya. Kembali ke Gading.

“Gin, gw bingung. Gw, ga tau apa yang gw rasain sekarang. Yang pasti dari sebulan yang lalu gw selalu keingetan sama lo. Parah banget ya?” Gading berusaha tersenyum, walau tidak berhasil. Aku tersenyum, mencoba menenangkan. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku hanya tersenyum. Melihat ketampanan Gading, membuatku semakin berdebar.

“Parah apanya? Kan emang selama sebulan ini sering ketemu. Gw pulang kantor, lo ngajak makan, atau nonton, atau sekedar nongkrong. Keingetannya karena apa ya?” aku mencoba mencari apa yang dimaksud Gading.

“Gw melakukan semua itu ga hanya sekedar rutinitas doang Gin! Gw melakukan itu pake hati, dan gobloknya gw, gw baru sadar sebulan ini! sebulan sebelum gw jadi suami orang, sebulan sebelum gw mengikat janji dengan orang lain! Sebulan sebelum gw bener-bener terikat dan menjauh dari lo!” Gading terlihat sedikit terisak. Ini bukan yang pertama, ini yang kedua kali Gading menangis di hadapanku. Tapi yang pertama kali terjadi lima tahun yang lalu. Karen itu, aku kaget dan terdiam.

“Lo masih ga ngerti Gin??? Come on! Gw baru sadar gw cinta sama lo! Dan itu sebulan sebelum gw nikah sama Satya!” mata Gading memerah. Matakupun mulai panas. Wajahku mungkin memerah menahan air mata. Aku diam bukannya aku tidak mengerti, aku hanya tidak ingin mengerti dan merasa tidak terjadi apa-apa.

“Lalu? Apa yang mau lo lakuin? Pergi dari tanggung jawab lo? Pergi ninggalin Satya gitu aja? Satya yang udah lo kejar-kejar tujuh tahun yang lalu Ding.” Mataku memang memerah, tapi aku masih bisa mengendalikan suaraku dan isakku, paling tidak aku bisa bebicara cukup lembut. Untuk menghadapi Gading yang sedang membabi buta ini, aku harus sabar dan lembut.

“Ga juga sih. Tapi, gw nyesel banget! Gw udah nyia-nyian lo sekian tahun demi cewe yang sebenernya Cuma gw suka dari fisiknya aja!” Gading sudah mulai bisa mengendalikan dirinya. Tiba-tiba pintu di ketuk.

“Masuk!” teriak Gading.

Sebuah kepala muncul dari balik pintu. Kakak perempuan Gading.

“Dek, udah siap? Satya udah sampe nih. Abis ini kamu langsung keluar ya. Udah agak telat nih. Eh, ada Gina, kasih tau Gading tuh dek, Gading gelisah banget dari tadi.” Kata mba Ruth.

“Iya mba, ini aku lagi kasih wejangan. Hehehehe, kayak aku udah nikah aja ya. Hehehe.” Lawakanku berhasi membuat mba Ruth tersenyum, tetapi Gading tetap terlihat gelisah.

“Oke, dengerin tuh Gina, jangan grogi gitulah dek.” Kata mba Ruth, sambil tersenyum dan menutup pintu. Dan pintu tertutup.

No comments:

Post a Comment